Perkembangan Emosi Anak

Widaya Ayu Puspita, M.Kes

Tahun-tahun awal kehidupan seorang anak ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang bersifat fisik, misalnya kehausan dan kelaparan serta peristiwa-peristiwa yang bersifat interpersonal, seperti ditinggalkan di rumah dengan pengasuh atau babysitter, yang dapat menyebabkan timbulnya emosi negatif. Kemampuan dalam mengelola emosi negatif ini sangat penting bagi pencapaian tugas-tugas perkembangan  dan berkaitan dengan kemampuan kognitif dan kompetensi sosial (Garner dan Landry, 1994; Lewis, Alessandri dan Sullivan, 1994 dalam Pamela W., 1995:417). Perilaku awal emosi dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan kemampuan afektif (Cicchetti, Ganiban dan Barnet, 1991 dalam Pamela W., 1995:417). Keluarga dengan orang tua yang memiliki emosi positif cenderung memiliki anak dengan perkembangan emosi yang juga positif, demikian pula sebaliknya (Pamela W., 1995:422).

Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Woolfson, 2005:8 menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, yaitu :

a) Dicintai, b) Dihargai, c)  Merasa aman, c) Merasa kompeten, d) Mengoptimalkan kompetensi

Apabila kebutuhan emosi ini dapat dipenuhi akan meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola emosi, terutama yang bersifat negatif.

Anak mengkomunikasikan emosi melalui verbal, gerakan dan bahasa tubuh. Bahasa tubuh ini perlu kita cermati karena bersifat spontan dan seringkali dilakukan tanpa sadar. Dengan memahami bahasa tubuh inilah kita dapat memahami pikiran, ide, tingkah laku serta perasaan anak. Bahasa tubuh yang dapat diamati antara lain :

a) Ekspresi wajah, b) Napas, c) Ruang gerak, d) Pergerakan tangan dan lengan

Hurlocka, 1978:211 menyebutkan bahwa emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi sosial dan anak. Pengaruh tersebut antara lain tampak dari peranan emosi sebagai berikut.

  • Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari. Salah satu bentuk emosi adalah luapan perasaan, misalnya kegembiraan, ketakutan ataupun kecemasan. Luapan ini menimbulkan kenikmatan tersendiri dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan memberikan pengalaman tersendiri bagi anak yang cukup bervariasi untuk memperluas wawasannya.
  • Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan. Emosi dapat mempengaruhi keseimbangan dalam tubuh, terutama emosi yang muncul sangat kuat, sebagai contoh kemarahan yang cukup besar. Hal ini memunculkan aktivitas persiapan bagi tubuh untuk bertindak, yaitu hal-hal yang akan dilakukan ketika tibul amarah. Apabila persiapan ini ternyata tidak berguna, akan dapat menyebabkan timbulnya rasa gelisah, tidak nyaman, atau amarah yang justru terpendam dalam diri anak.
  • Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik. Emosi yang memuncak mengganggu kemampuan motorik anak. Anak yang terlalu tegang akan memiliki gerakan yang kurang terarah, dan apabila ini berlangsung lama dapat mengganggu keterampilan motorik anak.
  • Emosi merupakan bentuk komunikasi. Perubahan mimik wajah, bahasa tubuh, suara, dan sebagainya merupakan alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menyatakan perasaan dan pikiran (komunikasi non verbal).
  • Emosi mengganggu aktivitas mental. Kegiatan mental, seperti berpikir, berkonsentrasi, belajar, sangat dipengaruhi oleh kestabilan emosi. Oleh karena itu, pada anak-anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan emosi dapat mengganggu aktivitas mentalnya.
  • Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial. Pengelolaan emosi oleh anak sangat mempengaruhi perlakuan orang dewasa terhadap anak, dan ini menjadi dasar bagi anak dalam menilai dirinya sendiri.
  • Emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan. Peran-peran anak dalam aktivitas sosial, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, sangat dipengaruhi oleh perkembangan emosi mereka, seperti rasa percaya diri, rasa aman, atau rasa takut.
  • Emosi mempengaruhi interaksi sosial. Kematangan emosi anak mempengaruhi cara anak berinteraksi dengan lingkungannya. Di lain pihak, emosi juga mengajarkan kepada anak cara berperilaku sehingga sesuai dengan ukuran dan tuntutan lingkungan sosial.
  • Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah. Perubahan emosi anak biasanya ditampilkan pada ekspresi wajahnya, misalnya tersenyum, murung atau cemberut. Ekspresi wajah ini akan mempengaruhi penerimaan sosial terhadap anak.
  • Emosi mempengaruhi suasana psikologis. Emosi mempengaruhi perilaku anak yang ditunjukkan kepada lingkungan (covert behavior). Perilaku ini mendorong lingkungan untuk memberikan umpan balik. Apabila anak menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, dia akan menerima respon yang kurang menyenangkan pula, sehingga anak akan merasa tidak dicintai atau diabaikan.
  • Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan. Setiap ekspresi emosi yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan, dan pada suatu titik tertentu akan sangat sulit diubah. Dengan demikian, anak perlu dibiasakan dengan mengulang-ulang perilaku yang bersifat positif, sehingga akan menjadi kebiasaan yang positif pula.

Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi (Saarni, Mumme, dan Campos, 1998 dalam De Hart, 1992:348). Pada usia 6 tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan, kebanggaan, kesedihan dan kehilangan (De Hart, 1992:348), tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam menafsirkan emosi orang lain (Friend and Davis, 1993). Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang mencakup :

·           Kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emocional

·           Menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh pengalaman emosional

Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan anak dalam mentoleransi frustasi

Salah satu aspek yang penting dalam pengaturan emosional adalah kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang merupakan upaya anak untuk menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku menjadi tidak terorganisir. Kemampuan ini muncul mulai usia 2 tahun dan berkembang pesat selama masa prasekolah (Brigdes dan Grolnick JK, 1995, Eisenberg, dkk, 1994, Van Lieshout, 1975). Ketika menemui situasi yang menimbulkan frustasi, misalnya alat-alat permainan menarik yang tidak dapat dijangkau, anak-anak usia prasekolah yang lebih tua tampak tidak terlalu marah dibandingkan anak-anak yang lebih muda. Mereka tampak masih fokus pada masalah dibandingkan rasa frustasinya dan mereka membuat respon konstruktif misalnya mencari bantuan. Dalam perkembangan emosi, anak mengalami perkembangan dalam resiliensi. Riset menunjukkan bahwa resiliensi bukan bawaan dari lahir. Ini lebih merupakan kapasitas untuk mengembangkan lingkungan yang suportif (Masten, 2001 dalam DeHart, 2004 : 363). Beberapa anak dapat melakukan coping lebih baik terhadap stres, tetapi hal ini cenderung berkaitan dengan sejarah perlekatan yang aman dan dukungan orangtua (Pianta, Egeland and Sroufe, 1990 dalam DeHart, 2004:363).

Kapasitas yang baru muncul ini berpengaruh terhadap hubungan dengan orang tua. Menolak permintaan orang tua dan tanggapan-tanggapan pasif terhadap permintaan orang tua menurun pada usia 2 dan 5 tahun (Kuczzynskl dan Kochanska, 1990). Anak-anak tampak meningkat kemampuannya dalam mentoleransi frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga mulai belajar bagaimana menegosiasikan konflik tersebut (Klimes-Dougan dan Kopp, 1999).

Salah satu bentuk untuk mentoleransi frustasi adalah menunda gratifikasi atau pemebuhan keinginan, misalnya permen, meskipun ada keinginan. Dengan adanya dukungan dari orang dewasa anak-anak usia prasekolah dapat mengurangi frustasinya dalam menunda gratifikasi ini. Hal ini sebenarnya tidak mudah untuk mereka, tetapi sebagian besar anak mampu melakukan. Kemampuan ini akan berkembang pada usia kanak-kanak pertengahan hingga pada saat anak mampu melakukannya tanpa adanya bantuan dari orang dewasa (Mischel, Shoda, dan Rodriguez, 1989).

Para peneliti masih belum yakin mengapa toleransi terhadap frustasi dapat berkembang dengan pesat selama masa prasekolah. Anak-anak kemungkinan tampak mampu menekan perasaannya pada satu level tertentu sehingga mereka terlihat tidak begitu marah (Maccoby, 1980). Pada saat yang bersamaan, anak-anak juga belajar mengenai strategi untuk membantu mereka membatasi tekanan yang menyebabkan frustasi.

Kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak tidak mampu menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi disebut ego-resiliensi, karena ego menunjukkan kapasitasnya untuk fleksibel dan mampu mengontrol ekspresi impulsif dan perasaan (Block dan Block, 1980). Seperti pada anak-anak lain yang memiliki ego resiliensi, maka dapat menjadi anak yang ekpresif , spontan pada beberapa situasi tetapi dia juga mampu menahan diri dan berperilaku disiplin pada keadaan lainnya (Sroufe, 1995 dalam DeHart, 2004:363).

Oleh karena itulah, sangat penting bagi orang dewasa, terutama yang dalam kesehariannya dekat dengan anak, diantaranya pamong PAUD dan para pemerhati anak untuk selalu berupaya membangun kapasitas emosional anak sehingga tidak akan menjadi hambatan kelak ketika anak dewasa. Kapasitas emosional ini merupakan dasar bagi penyesuaian dalam kehidupan anak selanjutnya.[*]

 

PAUD Penting untuk Stimulasi Otak Anak

Kamis, 29 September 2011 12:34 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), memiliki peran yang penting dalam perkembangan otak anak.

Hal tersebut dikatakan pengamat anak-anak, Seto Mulyadi. “PAUD adalah perangsang bagi otak anak untuk berkembang,” kata Kak Seto, panggilan akrabnya.

PAUD yang dimaksud adalah dalam bentuk formal dan non-formal. Untuk PAUD non-formal biasa dikenal sebagai kelompok bermain. Sedangkan untuk PAUD formal dikenal dengan taman kanak-kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA).

Menurut Seto, pada usia satu sampai lima tahun, perkembangan otak seorang anak mencapai puncaknya. Sehingga anak juga cepat menyerap hal-hal di sekitarnya. Karena itu akan sangat sayang jika potensi ini lepas begitu saja. “Akan lebih baik jika pada masa itu, seorang anak dibekali hal-hal yang positif,” imbaunya.

Hal-hal tersebut mencakup pembentukan karakter dasar seperti toleransi, cinta kasih, dan disiplin. Bila penanaman ketiga sifat tersebut dilakukan sejak dini maka, hal tersebut akan dibawa sampai remaja. Tiga sifat tersebut menjadi karakter seseorang.

Penanaman tersebut tentunya tidak dengan metode paksaan. Anak bisa diajak bermain dan mengenali lingkungan sekitar. Penggunaan sarana, prasarana dan alat permainan dinilai penting. Sarana tersebut digunakan untuk eksplorasi dan memuaskan rasa ingin tahu anak.

Walaupun PAUD penting, namun Seto tidak setuju jika itu dimasukkan dalam wajib belajar. Psikolog ini beralasan, PAUD sebetulnya bisa dilakukan oleh orang tua. “Tentunya dibutuhkan orang tua yang telaten. Selalu memberi teladan yang baik. Juga tidak lelah menjawab pertanyaan anak,” ujarnya.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Roshma Widiyani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *