DSCN0120

Pengertian Berfikir
Berfikir merupakan fungsi jiwa yang mengandung pengertian yang luas, karena mengandung maksud dan tujuan untuk memecahkan masalah sehingga menemukan hubungan dan menentukan sangkut paut antara masalah yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu, berfikir merupakan proses dialektis[1]. Artinya selama kita berfikir, dalam fikiran itu terjadi tanya jawab untuk bisa meletakkan hubungan-hubungan pengetahuan kita dengan tepat.
Sebelum penulis menjelaskan pengertian berfikir, akan memaparkan beberapa pengertian berfikir menurut  beberapa aliran  psikologi.[2]

  1. Aliran psikologi asosiasi mengemukakan, bahwa berfikir itu tidak lain dari pada jalannya tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh hukum asosiasi. Aliran  ini berpendapat bahwa dalam alam kejiwaan yang penting adalah terjadinya, tersimpannya dan bekerjanya tanggapan-tanggapan. Tokoh utamanya ialah John Lock (1632-1704) dan Herbart (1770-1841).
  2. Aliran psikologi behaviorisme [3] Aliran ini berpendapat, bahwa berfikir adalah gerakan-gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot untuk bicara, seperti halnya bila kita mengucapkan “buah pikiran”. Jadi menurut aliran  ini berfikir adalah berbicara. Yang paling penting menurut aliran ini adalah refleks. Refleks adalah gerakan atau reaksi tak sadar yang disebabkan adanya perangsang dari luar. Tokoh utamanya adalah John Broades Watson (178-1958).
  3. Aliran psikologi gestalt[4] memandang, gestalt yang teratur mempunyai peranan yang besar dalam berfikir. Aliran ini berpendapat bahwa proses berfikir seperti proses gejala-gejala psikis yang lain (merupakan suatu kebulatan). Psikologi gestalt memandang berfikir merupakan keaktifan psikis yang abstrak, yang prosesnya tidak dapat diamati dengan panca indra.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kemampuan Berfikir Anak Usia Dini
Meningkatkan kemampuan berfikir anak usia dini sangat penting, karena masa ini akan sangat mempengaruhi masa-masa selanjutnya. Bagi anak yang bisa melalui fase ini dengan baik, maka untuk fase selanjutnya tidak akan menemui kendala, terutama dalam perkembangan kemampuan berfikirnya.
Dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak baik itu perkembangan fisik maupun psikis, para ahli berbeda pendapat karena sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi anak tidak sama. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan pendapat aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bagi anak.

  1. Aliran Nativisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Scopenhauer  (1788-1860) seorang filosof Jerman. Para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.
  2. Aliran Empirisme (empiricism) adalah kebalikan aliran nativisme, dengan tokohnya yang utama adalah John Lock. Nama aslinya aliran ini adalah The School of British Empiricism (Aliran empirisme Inggris). Doktrin aliran empirisme yang sangat terkenal adalah tabula rasa sebuah istilah bahasa Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Dalam arti, perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pendidikannya. Sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini para pengnut aliran empirisme menganggap setiap anak yang lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tidak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
  3. Aliran Konvergensi (convergence) merupakan gabungan antara aliran nativisme dan empirisme. Tokoh utama aliran ini adalah Louis William Stern, seorang filosof dan psikolog Jerman. Dalam menentukan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/pengalaman atau tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor tersebut yang sama pentingnya.

Menurutnya faktor pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula faktor pengalaman tanpa faktor pebawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesui dengan harapan.
Adapun menurut Ngalim Purwanto, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemampuan berfikir anak usia dini adalah :
1.       Faktor pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas kemampuan berfikir anak, yakni dapat tidaknya memecahkan suatu masalah, pertama-tama ditentukan olah faktor pembanwaan anak. Anak itu ada yang pintar dan ada yang bodoh dalam memecahkan suatu masalah, meskipun menerima latihan dan mendapatkan pengalaman yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
2.       Faktor kematangan
Tiap organ tubuh anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (baik fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tidak dapat memecahkan suatu masalah tertentu, karena masalah itu masih terlalu sulit baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk memecahkan masalah itu. Dan kematangan sangat erat hubungannya dengan bertambahnya umur.
3.       Faktor pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan diluar diri anak yang mempengaruhi perkembangan kemampuan berfikir anak. Dan pembentukan itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu pembentukan yang disengaja seperti yang dilakukan di sekolah–sekolah dan pembentukan yang tidak disengaja  seperti pengaruh alam sekitar atau lingkungan.
4.       Faktor minat
Minat merupakan suatu dorngan untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam diri anak terdapat dorongan-dorngan (motif-motif) yang mendorong anak untuk berinteraksi dengan dunia luar. Dari interaksi dengan dunia luar itu, lama kelamaan akan menimbulkan minat untuk melakukan sesuatu. Apa yang menarik minat anak mendorongnya untuk melakukan sesuatu itu lebih giat dan lebih baik. Sehingga dengan demikian minat akan mempengaruhi tingkat kemampuan berfikir anak.
5.       Faktor kebebasan
Kebebasan berarti bahwa anak bebas memilih metode-metode tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Anak selain bebas memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah juga bebas untuk memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas saling berkaitan. Untuk menentukan seorang anak mempunyai kemampuan berfikir dengan baik atau tidak, tidak hanya berpedoman pada salah satu faktor tersebut di atas.

Metode Mengoptimalkan Kemampuan Berfikir Anak Usia Dini
Menurut Jean Piaget ada tiga cara bagaimana anak sampai pada mengetahui sesuatu, yaitu : [5]
1.       Kategori pertama dari cara tersebut adalah melalui interaksi sosial, yaitu mempelajari sesuatu dari manusia lain. Berbahasa adalah tingkah laku yang berbudaya. Misalya anak menemukan makna kursi dengan meneliti atau menjelajahi ciri-ciri kursi sehingga anak dapat mempelajari bahwa kursi ada kaki dan sebagainya tetapi tanpa manusia lain anak tidak akan tahu bahwa benda tersebut namanya kursi.
2.       Kategori kedua dalam mengetahui adalah melalui pengetahuan fisik, yaitu mengetahui sifat fisik dari sesuatu benda. Pengetahuan ini diperoleh dengan menjelajahi dunia yang bersifat fisik, melalui kegiatan tersebut anak belajar tentang sifat bulat atau segi empat, keras, lunak atau panas dan dingin. Beberapa konsep tersebut tidak sepenuhnya dipelajari tanpa pengalaman dari lingkungannya. Misalnya adalah tidak umum bahwa anak yang akan belajar tentang arti panas melalui sentuhan terhadap benda yang panas, karena hal ini akan membahayakan.
3.       Kategori ketiga dalam mengetahui adalah yang disebut logico-mathematical. Kategori ini meliputi pengertian tentang angka, seriasi, klasifikasi, waktu, ruang dan konservasi. Tipe pengetahuan ini menunjukkan adanya proses mental yang dikaitkan dengan hadirnya benda secara fisik. Misalnya seseorang yang melihat  2 batang pensil sekaligus dan anak mengatakan dua pensil. Hal ini dapat terjadi karena anak menggunakan konstruksi mental. Berarti anak dapat memahami pemikirannya terhadap dua buah pensil dengan cara one to one correspondence.
Sedangkan untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir anak usia dini bisa dilakukan dengan pertama memberikan stimulasi (rangsangan) panca indra yang sebanyak-banyaknya, kedua interaksi sosial [6]
1         Memberikan stimulasi panca indra
a.       Penglihatan
Bagi anak usia dini, memperhatikan macam-macam benda bisa berupa bentuk, warna, ukuran,  ekspresi wajah dan lain-lain akan sangat mempengaruhi perekmbangan kemampuan berfikir anak. Anak akan mengamati benda yang belum pernah ia lihat, dan dihatinya penuh dengan pertanyaan mengapa seperti ini, mengapa seperti itu. Dari penglihatan itu anak akan mencoba memecahkan  masalah yang ia hadapi sesuai dengan kemampuannya. Dan ini berarti secara otomatis akan meningkatkan kemampuan berfikirnya. Oleh karena itu bagi anak usia dini hendaknya diberikan stimulus sesering mungkin untuk mengenal benda-benda yang belum pernah ia lihat. Semakin banyak stimulasi penglihatan yang ia alami, maka semakin terbiasa pula anak untuk berfikir.
b.       Pendengaran
Mendengar adalah menangkap bunyi-bunyi (suara) dengan indra pendengar. Bunyi binatang dan manusia sebenarnya adalah suatu pernyataan, dan dimengerti oleh binatang dan manusia lain dalam arti tertentu. Oleh karena itu bunyi dapat berfungsi sebagai tanda (signal) dan sebagai lambang. Memperkenalkan bermacam-macam bunyi dan suara kepada anak usia dini bisa membuat anak jadi mudah membedakan berbagai macam bunyi dan suara. Anak yang sering diajak berbicara akan merangsang daya berfikir dan melatih anak untuk melafalkan kata-kata yang ia dengar. Musik klasik yang didengar oleh anak akan menstimulasi perkembangan otak dan merangsang berbagai area yang ada pada otak, juga membantu mengasah sensitifitas emosi atau perasaan anak. Menari bersama anak sambil mendengarkan musik akan  memiliki efek bagi anak dalam proses belajar anak. Pada saat itu ia belajar mengontrol gerakan tubuh (koordinasi fisik), belajar ritme (ketukan) dan sequence (dasar logika mempelajari matematika dan hitungan), vibrasi serta memori (daya ingat).[7]
c.       Penciuman
Perkenalkan anak-anak dengan bermacam-macam bau. Bau bisa dicium dari berbagai macam makanan, minuman dan lain sebagainya yang diberikan kepada anak. Sebenarnya kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi dengan tanpa disadari sudah mencium berabagai macam bau, karena sudah sangat terbiasa hingga kita tidak sensitif terhadap bau tersebut. Tetapi bagi anak-anak, beraneka ragam bau-bauan adalah baru. Tugas kita adalah membantu anak memahami dan membedakan bau-bauan yang mereka cium. Apabila  anak sudah bisa membedakan beragam bau berarti anak telah mampu berfikir untuk membedakan dan memahami beraneka ragam bau yang mereka cium.
d.      Perasa
Berikan anak dengan beragam rasa (pahit, manis, asin, asam dan lain sebagainya) sejak dini. Saat pertama kali anak dikenalkan rasa yang baru, biasanya anak akan bereaksi :
1.       mencoba mengeksplorasi rasa dengan mengecap-ngecapkan mulutnya,
2.       memnita lagi, karena merasa cocok dengan yang mereka rasakan, atau
3.       menolak makanan atau minuman tersebut. Jika anak menolak, coba ulangi beberapa kali sampai anak terbiasa merasakan rasa makanan atau minuman tersebut. Semakin banyak variasi rasa yang diperkenalkan pada anak sejak dini, maka anak akan cepat bisa memahami dan membadakan mana rasa yang enak menurut mereka dan mana rasa yang tidak enak.
e.       Peraba
Perkenalkan sedini mungkin anak dengan berbagai macam sentuhan dan rabaan. Karena dengan mengenal berbagai macam rabaan anak akan bisa memahami dan membedakan dari hasil rabaan tersebut rasa halus, rasa kasar, rasa dingin, rasa panas dan lain sebagainya. Dengan memperkenalkan berbagai macam rasa yang dihasilkan dari indra peraba anak akan mampu memahami dan membedakan benda yang mereka raba.
2         Interaksi sosial
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat didalamnya memainkan peran secara aktif.[8]
Menurut Lev Vygotsky[9] interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak. Anak belajar melalui dua tahap. Pertama, melalui interaksi dengan orang lain, baik keluarga, teman sebaya, maupun gurunya. Kedua secara individual ia mengintegrasikan apa yang dipelajari dari orang lain kedalam struktur mentalnya.
Ada tiga hal penting yang digunakan Vygotsky untuk menjelaskan teorinya, yaitu : tools of the mind, zone of proximal development dan scaffolding.
Tools adalah alat yang memudahkan kerja manusia, seperti palu, gergaji, pisau dan lain sebagainya adalah alat yang memudahkan kerja manusia. Menurutnya kerja mental juga akan lebih mudah jika ada alat yang mendukungnya yang disebut tools of the mind yang berfungsi untuk mempermudah anak untuk memahami suatu fenomena, memecahkan masalah, mengingat dan berfikir.
Zone of proximal devlopment adalah suatu konsep tentang daerah yang akan segera mengalami perkembangan. Istilah zone menggambarkan bahwa perkembangan bukanlah suatu titik, tetapi suatu daerah. Artinya bahwa aspek yang berkembang itu merupakan suatu kisaran. Luas kisaran tersebut sangat ditentukan oleh bantuan orang yang lebih ahli yang disebut dengan scaffolding.
Scaffolding adalah bantuan dari orang yang lebih mampu, lebih mengetahui dan lebih terampil dalam kisaran Zone of proximal development dengan tujuan membantu anak mengoptimalkan  hasil belajar. Dengan scaffolding tingkat kesulitan masalah yang dihadapi anak sebenarnya tidak berubah menjadi lebih mudah, tetapi akan menjadi tools of the mind.[10]
Untuk mempermudah memahami suatu obyek (dengan tools of the mind) maka anak bisa diberikan bantuan yang beragam macamnya, misalnya dengan menunjukkan cara menggunakan sesuatu atau menggunakan alat bantu. Bantuan tersebut pada tahap awal memberi petunjuk bagaimana cara melakukan sesuatu. Secara berangsur-angsur bantuan tersebut berkurang karena anak menjadi bisa melakukan sesuatu secara mandiri. Seperti contoh anak diberi lima kelereng, kemudian kemudian guru memberi contoh cara menghitungnya. Guru memegang tangan anak untuk menghitung dengan suara yang keras, “satu, dua, …….” dan seterusnya sampai lima. Mula-mula peran guru dominan dan anak hanya mengikuti gurunya. Lalu anak disuruh untuk mengulangi kembali. Secara perlahan bantuan tersebut dikurangi untuk memberikan peluang kepada anak berlatih sendiri. Setelah anak mahir menghitung sampai lima guru menambah jumlah kelereng menjadi tujuh atau sepuluh. Lalu anak mencoba menghitung kembali, mungkin saja ia dapat menghitung sampai sepuluh. Hal itu menandakan dengan bantuan guru anak tidak hanya bisa menghitung sampai lima tetapi mampu menghitung sampai sepuluh.
Menurut Jean Piaget[11] anak secara aktif memahami pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan interaksinya anak mengembangkan scheme (skema). Skema merupakan memori atau gambaran anak tentang sesuatu. Misalnya anak setelah bermain sepeda dan diberi penjelasan bahwa itu adalah sepeda, maka anak mempunyai skema tentang sepeda di dalam otaknya.
Menurutnya, ada dua tipe skema, yaitu skema figuratif dan skema operatif. Skema figuratif adalah skema tentang ciri benda yang secara langsung dapat dilihat atau diindra. Skema operatif adalah skema tentang hal-hal yang tidak dapat dilihat langsung dari bendanya, tetapi harus melalui proses berfikir. Misalnya pengertian nama, jumlah benda, besar dan kecil dan lain sebagainya. Skema operatif merupakan sistem simbol yang kelak berguna untuk berfikir abstrak.[12]
Dengan demikian interaksi sosial sangat penting peranannya dalan upaya untuk mengoptimalkan perkembangan kemampuan berfikir anak, karena dengan adanya interaksi sosial anak akan menjumpai hal-hal yang belum dia kenal, sehingga anak akan bertanya dan berfikir tentang hal tersebut, dan ingin mengetahuinya.


[1] Baharudin, Psikologi Pendidikan (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2007), 120.
[2] Purwanto, Psikologi Pendidikan, 44-46.
[3] Aliran ini mengemukakan bahwa obyek psikologi hanyalah perilakku yang kelihatan nyata dan menolak pendapat para sarjana psikologi lain yang mempelajari tingkah laku yang tidak tampak dari luar.
[4] Istilah gestalt sukar diterjemahkan kedalam bahasa lain. Sehingga dalam bahasa Inggris mempunyai banyak arti, yaitu form, shape configuration, whole yang dalam bahasa Indonesia berarti bentuk, keseluruhan, konfigurasi, totalitas. Aliran inipun merupakan protes terhadap pandangan elementaristis dan metode kerjanya menganalisis unsur-unsur kejiwaan. Sehingga menurut alairan ini yang utama bukanlah elemen tetapi keseluruhan.
[5] Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta:  PT Rineka Cipta, 2003), 88.
[6] Andriani, Early, 21.
[7] Ibid.
[8] Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung: CV Wacana Prima, 2008), 108.
[9] Lev Vygotsky adalah seorang psikolog berkebangsaan Rusia yang teorinya sering disbut juga Social Cognitive Learning Theory. Ia mnuliskan pokok pikirannya dalam dua buku yaitu : Thought  and Language (1962) dan Mind in Society (1978).
[10] Suyanto, Dasar-dasar Pendidikaan,106.
[11] Ia lahir di Neuchatel, Swiss pada tanggal 9 Agustus 1896, dan meninggal di Geneva tanggal 16 September 1980. Pada awalnya ia mendalami malakilogi (ilmu yang mempelajari bekicot). Kemudian ia meneliti perkembangan ketiga anaknya yaitu Jacqueline, Lucienne dan Laurent. Penelitian ini menjadikan ia sangat terkenal. Ia menggunakan dua metode penelitian yaitu, observasi natural dan observasi klinis. Observasi natural dilakukan dengan mengamati anak secara apa adanya, pengamatan tidak melakukan intervensi atau memberikan perlakuan kepada anak. Metode klinis dilakukan dengan cara memberi persoalan atau pertanyaan kepada anak dan anak meresponnya secara verbal. Kemudian Piaget menganalisis respon anak.

[12] Suyanto, Dasar-dasar, 96.

Perkembangan Fisik Anak Usia Dini

Perkembangan Fisik Anak   Sebagai seorang anak dewasa, orang tua menantikan tonggak penting seperti belajar bagaimana untuk berguling dan merangkak. Masing-masing merupakan bagian dari proses perkembangan fisik. Proses pematangan terjadi secara teratur, yaitu kemampuan keterampilan tertentu dan umumnya terjadi sebelum mencapai tonggak lainnya.

Sebagai contoh, kebanyakan bayi belajar merangkak sebelum mereka belajar berjalan. Namun, juga penting untuk menyadari bahwa tingkat di mana tonggak ini dicapai dapat bervariasi. Beberapa anak belajar berjalan lebih cepat dari teman sebaya mereka yang sama-usia, sementara yang lain mungkin diperlukan waktu sedikit lebih lama.

 Pengembangan Keterampilan

Sebagai seorang anak tumbuh, sistem saraf-nya menjadi lebih matang. Karena ini terjadi, anak menjadi lebih dan lebih mampu melakukan tindakan yang semakin kompleks. Tingkat di mana keterampilan motorik muncul kadang-kadang merupakan kekhawatiran bagi orang tua. Pengasuh sering khawatir tentang apakah anak-anak mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan pada tingkat normal. Sebagaimana disebutkan di atas, harga mungkin agak berbeda. Namun, hampir semua anak-anak mulai memperlihatkan keterampilan motorik ini pada tingkat yang cukup konsisten kecuali beberapa jenis kecacatan hadir.

Ada dua jenis keterampilan motorik:

  • Bruto (atau besar) keterampilan motorik melibatkan otot-otot yang lebih besar termasuk lengan dan kaki. Tindakan yang membutuhkan keterampilan motorik kasar meliputi berjalan, berlari, keseimbangan dan koordinasi.  Ketika mengevaluasi keterampilan motorik kasar, faktor-faktor yang termasuk ahli melihat kekuatan, otot, kualitas gerakan dan berbagai gerakan.
  • Fine (atau kecil) keterampilan motorik melibatkan otot kecil di jari, jari kaki, mata dan daerah lainnya. Tindakan yang memerlukan keterampilan motorik halus cenderung lebih rumit, seperti menggambar, menulis, memegang benda, melempar, melambai dan penangkapan.

Pertumbuhan Fisik

Perkembangan fisik pada anak-anak mengikuti pola yang terarah:

  • Otot besar berkembang sebelum otot kecil tangan. Otot tubuh dalam inti, kaki dan tangan berkembang sebelum mereka di jari dan.Anak-anak belajar bagaimana melakukan bruto (atau besar) keterampilan motorik seperti berjalan sebelum mereka belajar untuk melakukan denda (atau kecil) keterampilan motorik seperti menggambar.
  • Pusat tubuh berkembang sebelum daerah luar. Otot terletak di inti tubuh menjadi lebih kuat dan mengembangkan lebih cepat dari yang di kaki dan tangan.
  • Pembangunan berjalan dari atas ke bawah, dari kepala ke jari kaki. Inilah sebabnya mengapa bayi belajar untuk menahan kepala mereka sebelum mereka belajar cara merangkak.

Hubungan Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) Dengan Perkembangan Kognitif
Anak Usia Prasekolah di Kelurahan Tinjomoyo Kecamatan Banyumanik Semarang

The Correlation between Early Childhood Education with Cognitive
Development of PreSchool Aged Children in Tinjomoyo Village Banyumanik Subdistrict Semarang City
Rista Apriana
Pembimbing: Ns. Ana Subariyati, S. Kep
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
ABSTRACT
The golden age of child development happens at preschool
age in which
80% of the cognitive development is reached at this time. The child cognitive
development must be stimulated in order to optimize the development. An effective
early childhood education is very useful to build child cognitive development
structure. The purpose of this research was to know the correlation between early
childhood education with cognitive development of the preschool
aged children in
Tinjomoyo village, Banyumanik subdistrict Semarang city. The method of this
research was quantitative with cross sectional approach done to 54 respondents in
April 2009 in Tinjomoyo village, Banyumanik subdistrict Semarang city. The
correlation between early childhood education with cognitive development of preschool
aged children was analyzed by chi square correlational test. The result of
this research showed that there was a significant correlation between early
childhood education with cognitive development of preschool
aged children with p
value=0.000. The early childhood education determines cognitive development of
preschool
aged children. So that, it is important for parents to know about the
important role of the early childhood education for their child development.
Keywords : early childhood education, cognitive development, preschool
aged
children
Bibliography : 22 (19992009)
ABSTRAK
Masa emas (golden age) perkembangan anak terjadi pada usia prasekolah
dimana 80% perkembangan kognitif telah dicapai pada masa ini. Perkembangan
kognitif anak harus mendapat stimulasi agar dapat berkembang optimal. PAUD
yang efektif sangat bermanfaat untuk membangun struktur perkembangan kognitif
anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Pendidikan
Anak Usia Dini dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah di Kelurahan
Tinjomoyo Kecamatan Banyumanik Semarang. Metode Penelitian ini adalah
Penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan terhadap
54 responden pada periode April 2009 di kelurahan Tinjomoyo kecamatan
Banyumanik Semarang. Hubungan Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) dengan
perkembangan kognitif anak usia prasekolah dianalisis dengan menggunakan chi
square corelation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara Pendidikan anak Usia Dini (PAUD) dengan perkembangan kognitif
anak usia prasekolah (p value=0,000). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
menentukan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Penting bagi orang tua
mengetahui pentingnya peranan PAUD bagi perkembangan anak.
Kata Kunci : Pendidikan Anak Usia Dini, Perkembangan Kognitif, Anak
usia prasekolah
Daftar Pustaka :22 buah (19992009)
PENDAHULUAN
Sejak lahir sampai usia 3 tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya
pikir yang sudah mulai dapat menyerap pengalamanpengalaman
melalui
sensorinya; usia satu setengah tahun sampai kirakira
3 tahun mulai memiliki
kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara,
bercakapcakap)
(Theo & Martin, 2004).
Hasilhasil
studi dibidang neurologi mengetengahkan antara lain bahwa
perkembangan kognitif anak telah mencapai 50% ketika anak berusia 4 tahun,
80% ketika anak berusia 8 tahun, dan genap 100% ketika anak berusia 18 tahun
(Osborn, White, dan Bloom). Studi tersebut makin menguatkan pendapat para ahli
sebelumnya, tentang keberadaan masa peka atau masa emas (golden age) pada
anakanak
usia dini. Masa emas perkembangan anak yang hanya datang sekali
seumur hidup tidak boleh disiasiakan.
Hal itu yang memicu makin mantapnya
anggapan bahwa sesungguhnya pendidikan yang dimulai setelah usia SD tidaklah
benar. Pendidikan harus sudah dimulai sejak usia dini supaya tidak terlambat.
Sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) (martini, 2006).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) justru belum banyak
mendapat perhatian. Saat ini, pendidikan usia dini baru diperoleh oleh sebagian
kecil anak di Indonesia. Hasil pendataan Depdiknas pada tahun 2002, baru 28
persen dari 26,1 juta anak usia 06
tahun yang mendapat pendidikan usia dini.
Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan
jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak
mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK
atau Raidhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di kelompok bermain (play group).
Rasio jumlah lembaga pendidikan dan anak usia dini diperkirakan 1:8. Data
tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan anak usia dini (PAUD) belum cukup
mendapatkan perhatian padahal kapasitas perkembangan kognitif anak sudah
dapat terbentuk pada usia dini jauh dibawah usia sekolah (Enung, 2006)
Hal tersebut merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian
dimana masih banyak pihak yang belum mengetahui pentingnya pendidikan anak
usia bagi perkembangan kognitif anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendiskripsikan keikutsertaan anak usia prasekolah dalam program PAUD dan
perkembangan kognitif anak usia prasekolah serta untuk mengetahui hubungan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan perkembangan kognitif anak usia
prasekolah.manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi
pendidik PAUD untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga metode yang
digunakan sesuai dengan tahap perkembangan anak, memberikan informasi
kepada masyarakat tentang pentingnya mengikutsertakan anak dalam program
PAUD untuk merangsang perkembangan kognitif anak serta memberikan informasi
bagi perawat untuk dapat mengaplikasikan ilmu keperawatan pada komunitas
PAUD.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan
Cross sectional. Penelitian ini dilakukan di RW 06 kelurahan tinjomoyo kecamatan
banyumanik. Total Jumlah anak yang berusia 34
tahun adalah 115 anak.
penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengujian tes IQ pada 54 anak.
Pengumpulan data untuk tiap variabel menggunakan tes IQ dan lembar
pertanyaan yang berisi 4 pertanyaan kareketristik responden. Tes IQ berisi 27
pertanyaan yang disertai dengan gambar.
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel penelitian
dengan menggunakan uji Chi Square dimana dengan membandingkan p value
dengan tingkat kesalahan (alpha ) yang digunakan yaitu 5 % atau 0,05.
HASIL PENELITIAN
Responden yang mempunyai usia 3,54
tahun yaitu sebanyak 29 anak
(53,7%). Responden yang mempunyai usia 33,5
tahun sebanyak 25 anak (46,3
%). Sebanyak 27 anak (50 %) mempunyai jenis kelamin lakilaki
dan 27 anak (50
%) mempunyai jenis kelamin perempuan. Sebagian besar responden berasal dari
suku jawa yaitu 49 anak (90,7%), 3 responden (5,6%) berasal dari suku sunda dan
sisanya 2 responden (3,7%) berasal dari suku bangsa lainnya.
Hasil penelitian keikutsertaan PAUD menunujukkan sebanyak sebanyak
25 responden (46,3%) tidak mengikuti PAUD dan sebanyak 29 responden (53,7%)
mengikuti PAUD
Hasil dari penelitian tes IQ menunujukkan sebanyak 6 responden (11,1%)
mempunyai IQ low normal, sebanyak 32 responden (59,3%) mempunyai IQ
everage, sebanyak 13 responden (24,1%) mempunyai IQ high everage, dan 3
responden (5,6%) mempunyai IQ superior.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden yang memiliki IQ
superior mengikuti program PAUD dan semua responden yang memiliki IQ diatas
ratarata(
high everage) mengikuti program PAUD. Sebanyak 13 responden
(40,6%) dari 32 responden yang memiliki IQ ratarata
(everage) mengikuti program
PAUD dan 19 responden lainnya (59,4%) tidak mengikuti program PAUD. Semua
responden yang memiliki IQ dibawah ratarata
(low normal) tidak mengikuti PAUD.
Uji analisa secara statistik hubungan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah menggunakan uji Chi Square
dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,05, diperoleh hasil yang signifikan (p=0,000)
yang berarti p value< 0,05, maka dapat disimpulkan Ho ditolak sehingga ada
hubungan antara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan perkembangan
kognitif anak usia prasekolah.
PEMBAHASAN
Dari 54 responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 anak
(50% ) dan yang berjenis kelamin lakilaki
sebanyak 27 anak (50%). Lakilaki
dan
perempuan menunjukkan pola skor yang berbeda pada pengukuran intelegensi
konvensional oleh karena itu ada anggapan dari para ahli bahwa masalah
perbedaan jenis kelamin harus dipertimbangkan dalam melakukan interpretasi tes
IQ. Secara umum perempuan cenderung menunjukkan skor yang lebih tinggi dari
pada lakilaki
dalam hal: pengucapan kata atau fonologis, informasi semantik dalam
ingatan jangka panjang, komprehensi, gerakan motorik halus, dan kecepatan
persepsi. Lakilaki
cenderung menunjukkan skor lebih tinggi dari pada perempuan
dalam hal: transformasi visual, gerakan motorik yang terarah pada sasaran
tertentu, spasial dan fluid reasoning (Raden, 1999).
Hasil penelitian tentang umur responden didapatkan bahwa sebanyak 25
responden (46,3%) memiliki umur 33,5
tahun dan sebanyak 29 responden (53,7%)
memiliki umur 3,54
tahun. Perkembangan tingkat kognitif atau taraf intelegensi
seseorang sangat pesat pada usia prasekolah dan mulai menetap pada akhir masa
remaja. Taraf intelegensi tidak mengalami penurunan, hanya penerapannya saja
yang berbeda hal ini dikarenakan pada usia diatas 65 tahun kemampuan alat
indera mengalami penurunan (Raden, 1999).
Hasil penelitian suku bangsa menunjukkan bahwa sebanyak 49 responden
(90,7%) dari jawa, sebanyak 3 responden (5,6%) dari sunda, dan sebanyak 2
responden (3,7%) dari suku lainnya. Kelompok budaya yang berbeda menunjukkan
profil intelegensi atau kecerdasan yang berbeda pula. Beberapa butir pertanyaan
atau persoalan yang diajukan dalam pengukuran intelegensi atau kecerdasan
terkait secara khusus dengan budaya tertentu sehingga jika subjek yang dievaluasi
tidak terbiasa dengan budaya tersebut, maka butir pertanyaan yang diajukan
kepadanya terkesan asing dan tidak dapat menjawab. Jika subjek terlalu asing
dengan beberapa butir persoalan yang diajukan, hasil pengukuran dapat saja
menunjukkan skor yang rendah (Raden, 1999).
Sebanyak 29 responden (53,7%) mengikuti program PAUD hal ini
dikerenakan banyak alasan yang mendasari orangtua mengikutsertakan anak
dalam PAUD. Salah satunya adalah kesibukan orangtua dalam bekerja sehingga
orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak akan informasi dan
pembelajaran. Selain itu, alasan orangtua mengikutsertakan anak dalam PAUD
antara lain : menambah kemampuan sosialisasi anak, mendapatkan sarana
bermain yang lebih lengkap dan edukatif baik untuk kemampuan kognitif, motorik,
ataupun pendidikan budi pekerti yang baik.
Sebanyak 25 responden (46,3%) tidak mengikuti program PAUD, masih
banyaknya orang tua yang tidak mengikutsertakan anaknya dalam program PAUD
dikarenakan adanya anggapan bahwa anak berusia 3 tahun atau kurang masih
perlu memusatkan kegiatannya di rumah dengan orangtua dan keluarga lainnya.
Selain itu, anak dibawah usia 4 tahun belum dapat membedakan perilaku yang baik
dan buruk. Anggapan seperti ini membuat orangtua takut membaurkan anaknya
terlalu dalam dengan orangorang
yang baru dikenalnya, karena takut terpengaruh
dengan halhal
yang buruk.
Masih banyaknya jumlah responden yang tidak mengikuti PAUD dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk mengikutsertakan
anaknya dalam program PAUD masih kurang. Banyak faktor yang mempengaruhi
motivasi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya dalam program PAUD antara
lain tingkat pengetahuan, kepribadian, sikap, citacita,
lingkungan, kemampuan
ekonomi, dsb.
Perkembangan Kognitif pada penelitian ini dinyatakan dengan skor IQ,
dimana skor IQ ini merupakan ukuran yang menunjukkan taraf kemampuan kognitif
atau taraf intelegensi seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 6
responden (11,1%) mempunyai IQ low normal, 32 responden (59,3%) mempunyai
IQ everage, 13 responden (24,1%) mempunyai IQ high everage, 3 responden
(5,6% ) mempunyai IQ superior. Banyak faktor yang mempengaruhi taraf
perkembangan intelegensi atau kognitif seseorang adalah faktor hereditas dan
faktor lingkungan. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkkan bahwa peranan
faktor hereditas terhadap perkembangan kognitif atau intelegensi seseorang
terutama karena adanya rangkaian hubungan antara pertalian keluarga dengan
ukuran IQ. Sebagaimana hasil penelitian dari Erlenmeyer Kimling dan Jarvik, 1963,
bahwa umumnya individu yang mempuanyai hubungan keluarga cenderung
mempunyai IQ relatif sama atau similar. Riset lain yang dilakukan oleh Jenks, 1972
dan Munsinger,1978 menyimpulkan bahwa IQ anak lebih similar dengan IQ orang
tuanya. Selain faktor hereditas, taraf intelegensi atau kognitif seseorang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tingkat kognitif atau intelegensi seseorang
sangatlah ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari
lingkungan. Banyak studi maupun penelitian yang mendukung bahwa faktor
lingkungan mempengaruhi tingkat kognitif atau intelegensi seseorang. Sebagai
contoh dalam penelitian Kamin,1978, anakanak
angkat yang hidup dalam
lingkungan yang baik mengalami peningkatan IQ sampai 5 poin, sedangkan anakanak
angkat yang hidup dalam lingkungan kurang baik tidak mengalami
peningkatan taraf intelegensi. Selain dipengaruhi oleh faktor hereditas dan
lingkungan, tingkat kognitif atau taraf intelegensi juga dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin, ras, budaya, dan asupan nutrisi (Monty & Fidelis, 2006) .
Berdasarkan analisa dengan uji statistik chisquare
didapatkan hasil bahwa
semua responden yang memiliki IQ superior mengikuti program PAUD dan semua
responden yang memiliki IQ diatas ratarata(
high everage) mengikuti program
PAUD. Didapatkan nilai x2 sebesar 22,95 dan p value lebih kecil dari 0,05 yaitu
sebesar 0.000 sehingga hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan anak usia dini dengan perkembangan kognitif anak
usia prasekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat para tokoh bahwa PAUD sangat
efektif dalam membangun struktur kognitif anak (Martini, 2006)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 3 anak yang mengikuti
program PAUD memiliki skor IQ superior dan 13 anak memiliki skor IQ diatas ratarata
hal ini karena pendidikan anak usia dini membentuk dan mengembangkan jiwa
eksploratif, kreatif dan kepribadian yang integral yang penting bagi pembentukan
struktur kognitif atau kecerdasan (Enung, 2006).
Pelaksanaan PAUD yang efektif sangat bermanfaat bagi perkembangan
struktur kognitif anak, yaitu melalui pemberian kesempatan pada anak untuk
memperoleh pengalaman langsung dari berbagi aktivitas pembelajaran yang
sesuai. Pelaksanaan PAUD yang efektif juga bermanfaat bagi pengembangan
dasardasar
pengetahuan alam atau metematika dan bahasa, baik bahasa lisan
maupun membaca dan menulis. Selain itu pelaksanaan PAUD yang efektif juga
dapat memotivasi anak untuk memikirkan dan mengemukakan jawaban yang benar
terhadap suatu konflik. Pendidikan anak usia dini juga memberikan kesempatan
pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan sehingga dapat mengembangkan
kemampuan kognitifnya (Theo & Martin, 2004).
Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa terdapat 6 anak yang tidak
mengikuti program PAUD menunjukkan skor IQ dibawah ratarata
hal itu karena di
dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, begitu juga pada perkembangan
kognitifnya, dimana diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar dapat
berkembang optimal. Sehingga jika pada masa kritis, rangsangan/stimulasi tersebut
tidak diberikan maka besar kemungkinan tugastugas
perkembangan kognitif tidak
dapat dicapai secara optimal atau bahkan mengalami keterlambatan (Martini,
2006).
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa peringkat yang paling tinggi
adalah anak dengan kategori usia tiga setengah tahun sampai empat tahun.
Kategori jenis kelamin, sama antara perempuan dengan lakilaki.
Kategori suku
bangsa yang paling tinggi adalah suku jawa. Peringkat jumlah responden yang
paling tinggi adalah skor IQ everage (ratarata),
peringkat yang kedua adalah IQ
high everage (diatas ratarata),
selanjutnya adalah IQ low normal (di bawah ratarata),
dan peringkat jumlah responden yang paling rendah adalah IQ superior
(cerdas). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mempunyai hubungan yang signifikan
dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah di kelurahan Tinjomoyo
kecamatan Banyumanik Semarang.
SARAN
Orang tua dan keluarga hendaknya mampu meningkatkan pemahamannya
tentang pentingnya PAUD bagi perkembangan anak sehingga orang tua
termotivasi untuk mengikutsertakan anak dalam program PAUD. Bagi tenaga
pendidik PAUD, hendaknya terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksanaan
PAUD melalui program beasiswa atau tugas belajar bagi para guru PAUD,
symposium, seminar, pelatihan, dan pengkajian bukubuku
baru. Bagi pemerintah
hendaknya meningkatkan kebijakankebijakannya
di bidang PAUD antara lain bisa
dilakukan dengan memfasilitasi implementasi PAUD dilapangan melalui stimulasi
dana rintisan program dan dukungan kelembagaan, meningkatkan jumlah
pengiriman berbagai acuan dan bulletin dukungan, alat permainan edukatif,
workshop PAUD, pertemuanpertemuan
konsultatif serta monitoring dan supervisi
sampai ke pelosokpelosok
daerah. Bagi kader kesehatan hendaknya dapat
mengembangkan program PAUD masyarakat. Bagi perawat dapat
mengimplementasikan ilmu keperawatan pada komunitas PAUD.
DAFTAR RUJUKAN
Enung, F. Psikologi perkembangan : perkembangan Peserta didik. 2006. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Martini, J. Perkembangan Pengembangan Anak Usia Taman KanakKanak:
pedoman bagi orang tua dan guru. 2006. Jakarta: PT Grasindo.
Monty P. & Fidelis. Mendidik Kecerdasan, Pedoman Bagi Orang Tua Dan Guru
Dalam Mendidik Anak Cerdas. 2003. Jakarta: Pustaka Popular Obor
Raden C.P. Perkembangan Intelegensi Anak. 1999. Bandung: Angkasa.
Theo, R & Martin, H. Pendidikan Anak usia dini: tuntunan psikologis dan pedagogis
bagi pendidik dan orang tua. 2004. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
().
pendidikan usia dini. Diakses tanggal 2 januari. Harian sore Sinar
Harapan. Pendidikan usia dini harus diprioritaskan. Rabu 27 april 2005.
http://www.wikipedia.com/
().
pendidikan usia dini. Diakses tanggal 30 desember.
http//www.google.com//
Webmaster, Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini, diakses tanggal 10 Januari
2009 jam 07.00, www.eldiinacenter.com
.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *